Tokoh Adat Imeko Tuntut Terkait Pengelolaan Migas Di wilayah Beraur

 


Kota sorong  :( mhp.com) Papua Barat Daya 

Tokoh Adat Silvester Stefanus Saimar,  yang mewakili Masyarakat Suku IMEKO, menyuarakan tuntutan dan keberatan atas pengelolaan migas di wilayah adat mereka, terutama di area Lapangan Berau, yang termasuk dalam Blok Wilayah Kerja (WK) Migas Berau.

"Beliau" menegaskan bahwa masyarakat telah terlalu lama menjadi korban dari praktik-praktik yang dianggap merugikan, baik secara ekonomi, hukum, maupun sosial.

Silvester Stefanus Saimar saat memperlihatkan peta/blok wilayah kerja BP Migas saat itu.

Menurut Saimar, perusahaan Conoco Indonesia Inc (Conoco Phillips Ltd) sejak awal telah membuat dan mengesahkan peta seismik dan eksplorasi pengeboran berdasarkan Peta Blok WK Migas Kepala Burung Pulau Papua, yang meliputi wilayah Kabupaten Sorong dan Manokwari, dengan rujukan utama dari peta resmi milik Pertamina.Sorong wisata alam

Saat kegiatan eksplorasi yang dilakukan bersama Pertamina, ditemukan cadangan gas alam yang sangat besar, yakni 10,3 triliun kaki kubik gas, yang berada di wilayah daratan dan lautan Inanwatan, Metemani, Kais, dan Kokoda (IMEKO) yang secara sah adalah tanah adat dan wilayah hukum Suku Berau di Kabupaten Sorong Selatan.Sorong wisata alam

Bahkan, permasalahan mulai muncul pada awal tahun 2000-an ketika ARCO Indonesia Inc / ARII, yang juga memiliki konsesi di wilayah yang sama, melakukan merger dengan BP (British Petroleum). Pasca-merger, BP diduga menggunakan data cadangan gas dari Lapangan Berau sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman dari Bank Dunia, dan segera memulai pembangunan kilang LNG di Bintuni, tanpa pernah melibatkan masyarakat adat yang wilayahnya menjadi sumber data tersebut.

Yang menjadi keberatan besar bagi masyarakat adalah tidak membentuk badan hukum terpisah, meskipun mengelola lebih dari satu blok migas sebuah pelanggaran terhadap prinsip dasar pengelolaan sumber daya alam dalam Undang-Undang Migas. Bahkan lebih dari itu, BP Migas (kini SKK Migas) justru membuat peta blok baru, memindahkan titik eksplorasi dari Lapangan Berau ke Bintuni, melalui dokumen AMDAL tahun 2003, yang saat itu disahkan saat Prof. Dr. Balthasar Kambuaya menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup.

“Beliau juga sangat menyesalkan, keputusan strategis yang diambil justru menyelamatkan kepentingan perusahaan, bukan hak-hak masyarakat adat. Peta blok baru yang dibuat bertentangan dengan peta awal eksplorasi, dan ini telah mengakibatkan kami kehilangan hak sebagai daerah penghasil,” ujar Saimar, Senin (7/7/2025).

Ia juga menegaskan bahwa lokasi pengeboran awal berada di wilayah daratan Sorong Selatan, tetapi dalam dokumen baru yang diajukan BP, lokasi tersebut seolah-olah berada di tengah laut di wilayah Bintuni. Sorong wisata alam

Bahkan menurutnya, wilayah adat Lapangan Weriagar juga merupakan satu paket dengan Lapangan Berau, namun hingga kini kontribusi masyarakat tidak pernah diakui secara resmi, baik sebagai pemilik wilayah adat maupun penerima hak bagi hasil.

“Berdasarkan Undang-Undang Migas, satu perusahaan hanya boleh mengelola satu blok. Tapi kenyataannya, BP eksplorasi di dua blok sekaligus. Ini melanggar hukum. Wilayah kami dirusak, dan setelah itu kami dihapus dari peta. Ini pencurian sumber daya yang berlangsung sistematis,” tegasnya.

Ada dugaan perampasan dan kerugian selama lebih dari dua dekade, masyarakat adat menuntut kompensasi sebesar Rp618 miliar, berdasarkan estimasi kerugian dari potensi gas yang diambil dari wilayah adat mereka, termasuk Weriagar dan titik Berau.

Arfan Poretoka, kuasa hukum masyarakat adat, menyatakan bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk kompensasi semata, melainkan untuk mendapatkan kembali pengakuan sebagai daerah penghasil migas yang sah secara konstitusional.

“Kami meminta Gubernur Papua Barat Daya agar segera menurunkan tim ahli untuk memverifikasi ulang seluruh potensi gas di wilayah Sorong Selatan. Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan kekayaan daerah disedot diam-diam tanpa dampak nyata bagi masyarakat,” kata Foretoka.Sorong wisata alam

Ia menekankan bahwa jika temuan cadangan gas mencapai 10 triliun kaki kubik jauh lebih besar dibanding daerah sebelah yang hanya memiliki 1 triliun kaki kubik maka sudah seharusnya Sorong Selatan diakui sebagai lumbung energi nasional dan mendapatkan bagian yang adil dari Dana Bagi Hasil (DBH) untuk pembangunan daerah.Sorong wisata alam

“Jangan sampai mereka bangun infrastruktur LNG di Bintuni, tetapi gasnya disedot dari wilayah kami. Ini bisa jadi bentuk pencurian yang berlangsung selama puluhan tahun. Kami siap membawa ini ke jalur hukum,” tegasnya.

 Tokoh adat bersama masyarakat  berencana untuk segera melakukan audiensi resmi dengan Gubernur Papua Barat Daya, menyampaikan bukti dan data eksplorasi yang telah dikumpulkan, sekaligus mendesak pemerintah daerah untuk berpihak pada masyarakat dan tidak tunduk pada tekanan korporasi.

“Keberhasilan ini sudah berlangsung lama. Kami dulu diam, tapi sekarang saatnya bergerak. Kami tidak ingin anak cucu kami hanya mewarisi tanah rusak tanpa hasil. Pemerintah harus berpihak pada rakyat, bukan pada modal,” pungkas Saimar.

(hp.jlin.ika)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال